Languages فارسی فارسى درى English اردو Azəri Bahasa Indonesia پښتو français ไทย Türkçe Hausa Kurdî Kiswahili Deutsche РУС Fulfulde Mandingue
Scroll down
Hikmah

Wanita Dalam Pandangan Islam (2/2)

2020/06/01

Wanita Dalam Pandangan Islam (2/2)

Sebelum Islam datang, wanita dilarang melakukan kegiatan sosial di luar rumah. Para lelaki memenjarakan kaum wanita di rumah karena dianggap sebagai budak lelaki. Para wanita dilarang mengenal dunia luar sama sekali. Islam datang untuk mendobrak tradisi merendahkan wanita. Islam datang untuk memberikan hak wanita sesuai porsinya. Dalam urusan sosial di luar rumah, Allah Swt juga memberi hak dan kewajiban bagi wanita untuk hidup bersama masyarakat dan saling mengajak pada kebaikan serta menegur jika ada yang berbuat kesalahan.

Dalam ayat-Nya, Allah Swt memparalelkan lelaki dan wanita dalam urusan sosial, seperti amar makruf nahi mungkar. Allah Swt berfirman: Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar. (QS. at-Taubah: 71)

Berbagai tuduhan dengan dalih hak asasi manusia selalu dimaksudkan untuk meruntuhkan kemuliaan Islam, khususnya terkait hak-hak wanita. Padahal Islam datang untuk memberikan hak ke setiap orang yang berhak menerimanya tanpa melihat lelaki ataupun wanita. Kita semua tahu, hak kebebasan wanita adalah hal baru di Barat yang dibesar-besarkan. Padahal sebelumnya, bangsa Barat justru paling rajin menindas wanita.

Lihatlah Inggris! Pada awalnya, negara monarki itu tidak mengizinkan wanita memiliki sesuatu dikarenakan wanita hanyalah barang milik lelaki. Baru pada 1850, kaum wanita dibolehkan untuk memiliki sesuatu secara pribadi. Jerman menyusul pada 1900. Kemudian Italia tahun 1911.

Dunia Barat hanyalah orang-orang yang baru menyuarakan kebebasan wanita. Sementara Islam, sejak 1400 tahun lalu, telah memberikan hak bagi kaum wanita untuk memiliki sesuatu secara pribadi. Al-Quran menegaskan: Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. (QS. an-Nisa: 32)

Berbagai jenis tuduhan terus diumbar untuk menyerang Islam. Agama suci ini dianggap sebagai agama yang menindas kaum wanita. Bahkan kaum muslim sendiri banyak yang terbawa isu yang selalu dimunculkan dunia Barat ini. Mereka mulai terpengaruh dengan merasa muak terhadap agamanya sendiri karena adanya beberapa perbedaan hak antara lelaki dan wanita.

Padahal Allah Swt mengatur kehidupan manusia dengan keadilan-Nya. Adil bukan berarti harus memberi secara sama rata. Adil itu memberikan hak sesuai porsinya masing-masing. Apakah uang jajan yang sama terhadap anak TK dan anak SMA itu sebuah keadilan? Wanita tak punya kewajiban untuk menafkahi keluarga. Seluruh kewajiban tentang nafkah berada di pundak suami, walaupun sang istri kayaraya sementara suaminya hanya buruh pabrik. Tetap saja kewajiban itu berada di pundak suami.

Karena itu, jangan heran jika dalam menerima warisan, anak laki-laki mendapatkan porsi lebih banyak dari anak perempuan. Seluruh aturan syariat ini diatur Allah yang Maha Adil. Hanya saja, kacamata keadilan manusia terlalu kecil sehingga tidak pernah adil dalam memandang ketentuan Allah tersebut.

Belum lagi Islam dituduh menjadikan wanita sebagai budak suami. Wanita dicipta, katanya, hanya untuk berkhidmat pada suaminya. Bagaimana al-Quran menjawab tuduhan ini?

Untuk menjadikan dunia ini tentram dan makmur, Allah Swt menciptakan laki-laki dan wanita yang selalu saling membutuhkan satu sama lain. Islam tak pernah menunjuk wanita sebagai budak lelaki. Dus, Islam tak pernah mengizinkan adanya penindasan suami terhadap istrinya. Dengan gamblang, Allah Swt berfirman: Mereka (istri) adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian baginya. (QS. al-Baqarah: 187)

Mengapa Allah memilih kata ‘pakaian”? Sebab, pakaian dapat melindungi, menutupi aib pasangannya, dan sarana untuk berhias diri. Suami istri saling membutuhkan sebagai pakaian masing-masing. Tak sedikit pun pandangan al-Quran yang menyebut istri sebagai budak suami.

Allah Swt berfirman: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. (QS. az-Zukhruf: 32)

Belum lagi Islam diserang lantaran adanya riwayat-riwayat yang merendahkan wanita. Misal, wanita disebut sebagai sumber bencana dan sebagainya. Saat membaca suatu riwayat, tentu kita tidak bisa langsung mengambil kesimpulan darinya. Pertama-tama kita harus mengecek sanad (matarantai) dari riwayat tersebut. Kedua, kita tidak dapat begitu saja menilai suatu riwayat karena kita belum tentu tahu apa makna tersirat darinya.
Kita juga tak tahu, apakah riwayat-riwayat yang mencela keburukan wanita itu ditujukan untuk oknum tertentu atau seluruh wanita. Memang, diperlukan pembahasan terperinci jika hendak membahas suatu riwayat. Namun dalam kajian kali ini, kita tak mungkin melakukannya. Yang jelas, kita akan menolak riwayat apapun yang bertentangan dengan al-Quran.

Salah satu isu yang dihembuskan adalah tentang ibu kita, Siti Hawa. Pada awalnya, Siti Hawa-lah yang tergoda setan untuk kemudian membujuk Adam as agar memakan buah terlarang. Dari kisah ini, muncullah isu tentang wanita sebagai sumber petaka. Kisah ini perlu dicek kembali, baik sanad maupun kandungannya. Namun, jika kita membaca teks al-Quran, dengan jelas Allah Swt menceritakan bahwa saat itu setan menggoda keduanya, bukan hanya menggoda Siti Hawa.
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat pada mereka berdua. Setan lalu bersumpah kepada keduanya: “Sesungguhnya aku ini benar-benar termasuk para penasihatmu.” (QS. al-A’raf: 21-22)

Saat dikatakan sebagai sumber bencana, bukankah kaum wanita juga ciptaan Allah Swt? Pernahkah Allah Swt menciptakan sesuatu yang buruk pada dirinya?

Itulah ciptaan Allah Swt yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. (QS. an-Naml: 88)

Islam acapkali menekankan agar mendahulukan wanita dari lelaki. Imam Ja’far ash-Shadiq as pernah mengajarkan kepada para ayah; bila pulang dari tempat jauh dan membawa oleh-oleh, dahulukan anak perempuan untuk diberi dari anak laki-laki. Dalam sebuah riwayat, anak perempuan saat kecil dapat membukakan pintu surga bagi ayahnya. Ketika tumbuh dewasa, ia mampu menyempurnakan separuh agama suaminya. Dan ketika menjadi ibu, ia menjadikan surga di bawah telapak kakinya. Adakah yang lebih mengagungkan wanita dari Islam?

Bukankah Rasulullah saw pernah ditanya tentang siapa yang pertama kali harus dipenuhi haknya? Rasul saw menjawab, “Ibumu.” Beliau saw kembali ditanya, “Kemudian, siapa wahai Rasulullah?” Beliau saw pun menjawab yang sama, “Ibumu.” Lagi-lagi beliau ditanya, “Kemudian, siapa lagi wahai Rasulullah?” ‘Ibumu,” tegas Rasul saw. “Lalu siapa ya Rasulullah?” Baru Rasul saw menjawab, “Ayahmu.”

Saat kita ingin mengetahui bagaimana kehidupan wanita dalam Islam, kepada siapa lagi kita akan belajar selain kepada Sayyidah Fathimah as, putri Rasulullah saw. Sayyidah Fathimah as adalah wanita sempurna yang dididik langsung ayahandanya. Ketika kita ingin melihat bagaimana Islam memuliakan wanita, lihatlah bagaimana Rasulullah saw memuliakan putrinya. Ketika kita ingin belajar bagaimana menjadi wanita sempurna menurut Islam, belajarlah kepada Sayyidah Fathimah as yang disebut sebagai pemimpin kaum wanita ahli surga, sebagaimana disebutkan dalam kitab Bukhari.

Sumber: Ahlul Bait Indonesia.id