Languages فارسی فارسى درى English اردو Azəri Bahasa Indonesia پښتو français ไทย Türkçe Hausa Kurdî Kiswahili Deutsche РУС Fulfulde Mandingue
Scroll down
Hikmah

Pelajaran dari Peristiwa Karbala

2020/09/03

Pelajaran dari Peristiwa Karbala

Perlawanan terhadap penindasan dan tirani berhutang besar kepada Imam Husain as, yang syahid di Karbala pada 61 H atau 680 M. Bersama sekitar 70 pengikutnya, anggota keluarganya, cucu Nabi Muhammad saw ini menghadapi pasukan Yazid bin Muawiyah yang memkasa beliau tunduk di bawah pemerintahan yang lalim.

Namun, Imam Husain as menolak berbaiat kepada Yazid. Akibatnya, beliau bersama rombongan dan keluarganya harus membayar mahal; menjadi martir dengan cara yang brutal. Perempuan dan anak-anak yang menyertainya dipenjara selama berbulan-bulan di gang-gang gelap di Damaskus. Padahal sebagian besar mereka adalah Ahlul Bait Nabi Muhammad saw yang sangat dihormati seluruh umat Islam. Namun, Yazid tak perduli soal itu.

Kesyahidan Imam Husain as pada 10 Muharram atau hari Asyura itu diperingati banyak umat Muslim di seluruh dunia sebagai pengorbanan besar Iman Husain as. Namun, tragisnya, pesan tragedi Karbala sepertinya tak sampai kepada sebagian besar umat Muslim.

Dalam literatur Barat dan penelitian tentang Islam, episode ini seringkali dilihat semata-mata sebagai ritual Muslim Syiah yang dilaksanakan pada hari Asyura. Penting untuk direnungkan mengapa hal ini terjadi? Dan yang tak kalah penting, mengapa kelompok teroris dan ekstremis seperti al-Qaeda dan Taliban sering meneyerang peringatan Asyura, dan sepak terjang mereka itu merendahkan semua hal yang dibela Imam Husain as.

Menengok sejenak ke sejarah singkat masa lalu untuk memahami konteks Asyura. Pasca wafatnya Nabi Muhammad saw pada 632 M, ekspansi Islam menjadi sebuah fenomena global, Islam menjadi kekuatan yang sedang bangkit di dunia. Namun, dalam prosesnya, tatanan masyarakat Muslim juga mengalami transformasi, sebab pandangan Muslim berangsur-angsur terpengaruh orang-orang dari berbagai latar budaya.

Lalu mulai muncul elit-elit baru yang tertarik pada kekuasaan dan kekayaan. Akibatnya, penekanan Islam pada egalitarianisme, keadilan, dan kesetaraan perlahan-lahan mulai luntur. Para pengamat saat itu memandang, ada upaya untuk membuat Islam menjadi kerajaan dinasti seperti Byzantium Romawi dan Sasan. Distorsi cita-cita Islam menjadi hobi Yazid dan kelompoknya. Perluasan pengaruh dan wilayah Islam dengan menggunakan pedang merupakan ciri khas zaman itu.

Melihat gelagat tak baik ini, Imam Husain as, pemelihara spiritual Islam pada masa itu, gigih melawan upaya pembelokan ajara Islam. Demi tujuannya untuk memurnikan ajaran Datuknya, Imam Husain as melakukan pengorbanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pengorbanan itu dimaksudkan untuk mengguncang dan membuka hati nurani kaum muslimin. Sekaligus mengekspos jalan sesat yang diperkenalkan atas nama Islam oleh Yazid.

Perjuangan itu merupakan prinsip Imam Husain as untuk membela martabat dan  kehormatan manusia. Menentang sistem pemerintahan monarki yang baru diperkenalkan itu menjadi salah satu ciri penting perjuangan Imam Husain as.

Pada khutbah terakhirnya, sebelum meninggalkan Madinah menuju Karbala, Irak, Imam Husain as menjelaskan tujuan misi perjalanannya, “Aku berusaha mereformasi umat kakekku.” Imam Husain as tak pernah mengambil jalan dengan mengangkat senjata untuk mencapai tujuannya itu. Sebab ia percaya bahwa menyampaikan pesan melalui cinta dan kasih sayang merupakan jalan terbaik.

Pesan Imam Husain as itu benar-benar dimotivasi oleh kemanusiaan. Maka tak heran jika pemimpin besar India, Mohandas Karamchand Gandhi dengan tegas mengakui hal ini dengan mengatakan, “Saya belajar dari Husain bagaimana meraih kemenangan saat ditindas.”

Ini jauh dari apa yang disebut sebagai pertempuran politik belaka. Meskipun beberapa sejarahwan Muslim mencoba memproyeksikan peristiwa Karbala seperti itu untuk menutupi, tak hanya kekejaman Yazid, namun juga secara tidak langsung mempertahankan aliran pemikirannya.

Sementara pandangan arus utama, bagaimana pun, baik di kalangan Muslim Sunni dan Syiah, sangat bersimpati terhadap syahidnya Imam Husain as. Akan menjadi parodi mutlak dari sejarah Islam, jika menyebut tragedi Karbala sebagai pertarungan Sunni-Syiah. Meski beberapa penulis masiih melakukan itu. Entah akibat kurangnya pemahaman yang mendalam, atau karena upaya yang keliru untuk menyederhanakan beberapa hal bagi pembaca awam di Barat.

Di kalangan umat Muslim, hanya segelintir ulama kontroversial yang memproyeksikan versi ini. Namun, sebagaian besar umat Muslim menghindar menggali lebih dalam tragedi Karbala, dan dengan hati-hati menghindari mempertanyakan perkembangan sejarah yang mengarah pada kebangkitan Yazid.

Kendati Muslim Syiah sering menjadi yang terdepan dalam memperingati tragedi Karbala, namun kaum Sunni, terutama mereka yang tergabung dalam mazhab Barelvi di Asia Selatan dan hampir semua kalangan sufi di Asia dan Timur Tengah secara luas, juga dengan antusias berpartisipasi dalam memberikan hormat kepada Imam Husain as dan kafilahnya.

Sedangkan, kelompok ekstremis dan teroris di kalangan Muslim ingin menghancurkan elemen persatuan Muslim Sunni – Syiah untuk memperingati tragedi kesyahidan Imam Husain as. Sebab, itu sesuai agenda mereka untuk memecah belah Islam dengan melakukan kekerasan dan kebencian sektarian. Mendistorsi agama menjadi dogmatis dalam pandangan dan kemunduran dalam pendekatan, sangat membantu mereka mencapai tujuan memecah belah umat Islam. Bagi mereka, kekuasaan politik itu tujuan murni mereka sendiri. Sedangkan pesan Imam Husain as sangat bertentangan dengan prespektif ini.

Obat untuk menjaga persatuan Islam seperti ajaran Datuk Imam Husain as terletak pada penyebaran pesan Karbala, baik dalam komunitas Muslim di seluruh dunia maupun di antara mereka yang tertarik untuk menguraikan tema-tema dasar wacana Islam. Di tingkat lebih tinggi, pesan Imam Husain as tentang perlawanan terhadap penindasan dan pengorbanan pribadi untuk tujuan kemanusiaan dapat diterapkan pada situasi yang lebih luas untuk generasi yang akan datang.

Sumber: Dr. Hassan Abbas, “History Lessons from Karbala”, Foreignpolicy, Desember 2011